Kisah Inspiratif—Freedom
Sesekali di penghujung Ramadhan ketika dunia sibuk berburu diskon baju baru, menyiapkan hidangan istimewa, juga merekam vidio velovity, lihatlah ke Palestina. Di sana, lailatul qadr bukan hanya dikejar dalam sujud panjang, tetapi juga dalam derita panjang.
Takbir kemenangan bercampur dentuman bom, dan pagi Syawal tiba bukan dengan gema takbir yang syahdu, melainkan dengan reruntuhan dan tangisan.
Sesekali, seperti Khalid bin Walid yang tak gentar menghadapi rombongan pasukan Romawi, belajarlah dari para pemuda dan anak-anak Gaza. Mereka bertelanjang dada menghadang tank, berseragam luka dan bara semangat, berteriak takbir meski dunia menutup telinga. Mereka bukan hanya bertahan, mereka menyerang kejumudan hati dunia yang telah lama beku.
Sesekali, renungkanlah nasib Al-Aqsha sebagaimana Umar bin Khattab yang menginjakkan kaki di sana dengan kehormatan. Ia menolak berjalan di atas kemewahan, memilih kebersahajaan, karena ia tahu bahwa tempat suci itu hanya akan dibebaskan oleh mereka yang hatinya telah menang atas dunia.
Sesekali belajarlah dari Syekh Ahmad Yassin. Ia lumpuh, terkurung dalam kursi roda, tapi pikirannya lebih tajam daripada pedang, dan keberaniannya lebih besar dari pasukan bersenjata. Ia tak bisa berlari, tapi suaranya menggerakkan jihad. Ketika rudal-rudal Israel menghancurkan tubuh rentanya pada 2O24, ia tak mati–ia justru hidup dalam perlawanan yang terus menyala hingga hari ini.
Sesekali seperti Shaaban Al-Dalon, pemuda penghafal Al-Qur'an yang dibakar hidup-hidup dalam pengeboman rumah sakit Syuhada Al-Aqsa Oktober 2O24 lalu, belajarlah tentang arti pengorbanan sejati. Ia menghafal setiap ayat, meneguhkan hati di tengah deru penjajahan, hingga akhirnya tubuhnya dilahap api, tetapi ruhnya terbang menuju pemilik wahyu yang ia hafalkan dengan cinta.
Sesekali, dalam lelah dan letih, tinggalkanlah kebisingan keseharianmu dan kenanglah nama Hossam Shabat, jurnalis muda Gaza yang mengabadikan dirinya untuk kebenaran. Baru berusia 21 tahun, namun selama 18 bulan terkahir, ia menyerahkan segalanya—tidur di trotoar, merekam dengan kamera yang nyaris kehabisan daya, bertahan dalam kelaparan—hanya demi satu hal; agar dunia tak berpaling.
"Jika kalian membaca ini, berarti aku telah terbunuh. jangan biarkan dunia berpaling. Teruslah menyampaikan kisah kami—sampai Palestina merdeka."
Tulisan dalam pesan terakhirnya. Benarlah, tepat di penghujung Ramadhan 1446H, ia gugur oleh kebengisan Israel—namun suaranya menggema lebih keras daripada dentuman bom yang merobohkan rumah-rumah mereka.
Sesekali, menangislah untuk Palestina. Lalu berdoalah, dan jika mampu, berbuatlah. Karena tak ada satu amal pun yang sia-sia bagi tanah yang diberkahi-Nya. Sesekali, belajarlah dari Palestina. Dari mereka yang kehilangan segalanya, tapi tetap menggenggam harapan.
Wallahu a'lamu bishawab.
Komentar
Posting Komentar